Minggu, 11 April 2010

CERPEN

persahabatan
Pagi hari saat aku terbangun tiba-tiba ada seseorang memanggil namaku. Aku melihat keluar. Ivan temanku sudah menunggu diluar rumah kakekku dia mengajakku untuk bermain bola basket.“Ayo kita bermain basket ke lapangan.” ajaknya padaku. “Sekarang?” tanyaku dengan sedikit mengantuk. “Besok! Ya sekarang!” jawabnya dengan kesal.“Sebentar aku cuci muka dulu. Tunggu ya!”, “Iya tapi cepat ya” pintanya.Setelah aku cuci muka, kami pun berangkat ke lapangan yang tidak begitu jauh dari rumah kakekku.“Wah dingin ya.” kataku pada temanku. “Cuma begini aja dingin payah kamu.” jawabnya.Setelah sampai di lapangan ternyata sudah ramai. “Ramai sekali pulang aja males nih kalau ramai.” ajakku padanya. “Ah! Dasarnya kamu aja males ngajak pulang!”, “Kita ikut main saja dengan orang-orang disini.” paksanya. “Males ah! Kamu aja sana aku tunggu disini nanti aku nyusul.” jawabku malas. “Terserah kamu aja deh.” jawabnya sambil berlari kearah orang-orang yang sedang bermain basket.“Ano!” seseorang teriak memanggil namaku. Aku langsung mencari siapa yang memanggilku. Tiba-tiba seorang gadis menghampiriku dengan tersenyum manis. Sepertinya aku mengenalnya. Setelah dia mendekat aku baru ingat. “Bella?” tanya dalam hati penuh keheranan. Bella adalah teman satu SD denganku dulu, kami sudah tidak pernah bertemu lagi sejak kami lulus 3 tahun lalu. Bukan hanya itu Bella juga pindah ke Bandung ikut orang tuanya yang bekerja disana. “Hai masih ingat aku nggak?” tanyanya padaku. “Bella kan?” tanyaku padanya. “Yupz!” jawabnya sambil tersenyum padaku. Setelah kami ngobrol tentang kabarnya aku pun memanggil Ivan. “Van! Sini” panggilku pada Ivan yang sedang asyik bermain basket. “Apa lagi?” tanyanya padaku dengan malas. “Ada yang dateng” jawabku. “Siapa?”tanyanya lagi, “Bella!” jawabku dengan sedikit teriak karena di lapangan sangat berisik. “Siapa? Nggak kedengeran!”. “Sini dulu aja pasti kamu seneng!”. Akhirnya Ivan pun datang menghampiri aku dan Bella.Dengan heran ia melihat kearah kami. Ketika ia sampai dia heran melihat Bella yang tiba-tiba menyapanya. “Bela?” tanyanya sedikit kaget melihat Bella yang sedikit berubah. “Kenapa kok tumben ke Jogja? Kangen ya sama aku?” tanya Ivan pada Bela. “Ye GR! Dia tu kesini mau ketemu aku” jawabku sambil menatap wajah Bela yang sudah berbeda dari 3 tahun lalu. “Bukan aku kesini mau jenguk nenekku.” jawabnya. “Yah nggak kangen dong sama kita.” tanya Ivan sedikit lemas. “Ya kangen dong kalian kan sahabat ku.” jawabnya dengan senyumnya yang manis.Akhinya Bella mengajak kami kerumah neneknya. Kami berdua langsung setuju dengan ajakan Bela. Ketika kami sampai di rumah Bela ada seorang anak laki-laki yang kira-kira masih berumur 4 tahun. “Bell, ini siapa?” tanyaku kepadanya. “Kamu lupa ya ini kan Dafa! Adikku.” jawabnya. “Oh iya aku lupa! Sekarang udah besar ya.”. “Dasar pikun!” ejek Ivan padaku. “Emangnya kamu inget tadi?” tanyaku pada Ivan. “Nggak sih!” jawabnya malu. “Ye sama aja!”. “Biarin aja!”. “Udah-udah jangan pada ribut terus.” Bella keluar dari rumah membawa minuman. “Eh nanti sore kalian mau nganterin aku ke mall nggak?” tanyanya pada kami berdua. “Kalau aku jelas mau dong! Kalau Ivan tau!” jawabku tanpa pikir panjang. “Ye kalau buat Bella aja langsung mau, tapi kalau aku yang ajak susah banget.” ejek Ivan padaku. “Maaf banget Bell, aku nggak bisa aku ada latihan nge-band.” jawabnya kepada Bella. “Oh gitu ya! Ya udah no nanti kamu kerumahku jam 4 sore ya!” kata Bella padaku. “Ok deh!” jawabku cepat.Saat yang aku tunggu udah dateng, setelah dandan biar bikin Bella terkesan dan pamit keorang tuaku aku langsung berangkat ke rumah nenek Bella. Sampai dirumah Bella aku mengetuk pintu dan mengucap salam ibu Bella pun keluar dan mempersilahkan aku masuk. “Eh ano sini masuk dulu! Bellanya baru siap-siap.” kata beliau ramah. “Iya tante!” jawabku sambil masuk kedalam rumah. Ibu Bella tante Vivi memang sudah kenal padaku karena aku memang sering main kerumah Bella. “Bella ini Ano udah dateng” panggil tante Vivi kepada Bella. “Iya ma bentar lagi” teriak Bella dari kamarnya. Setelah selesai siap-siap Bella keluar dari kamar, aku terpesona melihatnya. “Udah siap ayo berangkat!” ajaknya padaku.Setelah pamit untuk pergi aku dan Bella pun langsung berangkat. Dari tadi pandanganku tak pernah lepas dari Bella. “Ano kenapa? Kok dari tadi ngeliatin aku terus ada yang aneh?” tanyanya kepadaku. “Eh nggak apa-apa kok!” jawabku kaget.Kami pun sampai di tempat tujuan. Kami naik ke lantai atas untuk mencari barang-barang yang diperlukan Bella. Setelah selesai mencari-cari barang yang diperlukan Bella kami pun memtuskan untuk langsung pulang kerumah. Sampai dirumah Bella aku disuruh mampir oleh tante Vivi. “Ayo Ano mampir dulu pasti capek kan?” ajak tante Vivi padaku. “Ya tante.” jawabku pada tante Vivi.Setelah waktu kurasa sudah malam aku meminta ijin pulang. Sampai dirumah aku langsung masuk kekamar untuk ganti baju. Setelah aku ganti baju aku makan malam. “Kemana aja tadi sama Bella?” tanya ibuku padaku. “Dari jalan-jalan!” jawabku sambil melanjutkan makan. Selesai makan aku langsung menuju kekamar untuk tidur. Tetapi aku terus memikirkan Bella. Kayanya aku suka deh sama Bella. “Nggak! Nggak boleh aku masih kelas 3 SMP, aku masih harus belajar.” bisikku dalam hati.Satu minggu berlalu, aku masih tetap kepikiran Bella terus. Akhirnya sore harinya Bella harus kembali ke Bandung lagi. Aku dan Ivan datang kerumah Bella. Akhirnya keluarga Bella siap untuk berangkat. Pada saat itu aku mengatakan kalau aku suka pada Bella.“Bella aku suka kamu! Kamu mau nggak kamu jadi pacarku” kataku gugup.“Maaf ano aku nggak bisa kita masih kecil!” jawabnya padaku. “Kita lebih baik Sahabatan kaya dulu lagi aja!”Aku memberinya hadiah kenang-kenangan untuknya sebuah kalung. Dan akhirnya Bella dan keluarganya berangkat ke Bandung. Walaupun sedikit kecewa aku tetap merasa beruntung memiliki sahabat seperti Bella. Aku berharap persahabatan kami terus berjalan hingga nanti.

Menunggu Pelangi



“Pelangi!! Ayo kesini! Hujannya lumayan deras nihh! Nanti sakit loh!” teriakku sekencang – kencangnya ke arah Pelangi yang dari tadi mengincar air hujan yang berjatuhan. “ Bentar donk! Lagi seru main sama air nih! Lagian kalo disitu nanti kita ga bisa lihat pelangi tau!” balas pelangi dari kejauhan. Aku segera mendatanginya. “ Mana Ngi pelanginya?” tanyaku penasaran dengan kata–katanya barusan. Di situ aku pertama kali melihat pelangi yang indaaahh sekali bersama dengan sahabat setiaku, Pelangi. Oh iya. Kenalkan namaku Tito. Aku sudah duduk di bangku kuliah. Semester 4. Aku sangat suka dengan dunia balap. Piala dan penghargaan prestasiku di dunia balap juga ga dikit lho. Cuplikan tadi hanya seberkas cerita kecilku bersama sahabatku Pelangi. Dan itu adalah kali pertama kita melihat pelangi bersama – sama dan akhirnya menjadi hobi kita setiap ada hujan. Hari ini, begitu indah untuk seluruh keluargaku. Ayah baru saja pulang dari Amerika. Kenangan indah masa kecilku bersama ayahku kembali lagi di benakku. Tami dan Hugo juga terlihat senang. Terutama si Tami, adikku yang paling kecil sekaligus paling manja dan cerewet ini seakan tak mau lepas dari pelukan ayahku. Mama juga memasakkan makanan kesukaan semua anggota keluarga hari ini. Tak lama, rintik – rintik hujan mulai berdatangan. Makin lama makin deras. Ikan – ikan dibelakang rumah membiarkan nuansa hening dan damai dari rintik – rintik hujan menambah volume air di habitat mereka. Tumbuhan – tumbuhan juga membiarkan tetesan air membasahi permukaan daun mereka. Teringat kembali aku akan si Pelangi. Dia masih satu kampus denganku. Ku angkat telepon genggamku yang ada di atas sofa yang sedang kududuki sekarang ini. Aku mencari nomer telepon dari sahabat tercintaku itu. Setelah kutemukan, kutekan tombol berwarna hijau yang ada di antara beberapa tombol lain. Mulailah suara halus dan lembut menjawab panggilanku. Aku mulai berbincang dengan Pelangi dan mengajaknya pergi bersamaku untuk melihat pelangi di angkasa sebelum hujan reda. “ Hayo kak Tito janjian sama kak Pelangi yaaa......” tiba – tiba suara si Hugo menyadarkanku dari serunya pembicaraan dengan Pelangi. Segera kutarik kulit tangannya setelah aku menutup telponku dengan Pelangi. “ Apaan sih kamu itu! Masih SMP jangan ikut – ikutan! Kakak mau pergi sama kak Pelangi dulu. Ntar bilangin ke ayah sama mama oke?” aku bertutur kepada adik laki – lakiku yang rese’ ini. Seraya dia menjawab, “ Pake pajak dong kak!”. Aku tercengang. Si Hugo nyengar – nyengir ga karuan. Oke deh, aku kasih dia uang jajan. “ Hai! Udah lama ya? “ sapaku dengan menepuk pundak si Pelangi yang sudah menunggu beberapa menit. “ Eh? Oh, enggak kok. Baru 10 menit.” Jawabnya dengan lembut. “ Oh. Sorry ya udah buat nunggu.“ pintaku dengan penuh harap. “ Nggakpapa To. Santai aja deh.” Jawabnya dengan santai dan tulus. Pelangi langsung menunjuk ke langit yang sedang menurunkan air saat itu. Kami berdua langsung tersenyum bersamaan. Bangku taman yang kami duduki terasa hangat dan nyaman. Huft, seperti dulu lagi. Sangat indah saat ini. Sungguh romantis situasinya. Sempurna sekali dengan rencanaku yang sudah beberapa tahun kupendam. Aku merentangkan tanganku ke pundak Pelangi. Pelangi yang terkaget segera memandang wajahku. Dengan lirih aku menanyakan hal yang sangat sulit untuk ditanyakan dan dijawab. “Ngi. Ehm.., Pelangi. L, lo, lo mau ga…” aku berusaha bertanya dan mengeluarkan kata – kata. Pelangi menjawab tanyaku yang belum selesai kuucapkan “Mau apa To? Kalo bantuin lo, gue mau kok.”. “ Ituh, bukan. Bukan bantuin gue. Tapi lo mau ga… jadi.. jadi.. pa..” aku ga bisa mengeluarkan kata – kata dengan sempurna. “Huft.. ayo bicara Tito!” aku berbicara pada diriku sendiri dalam hati. Mobil Avanza berwarna silver menghampiri kita. “ Eh To. Ga terasa kita udah lama lho disini. Tuh kakak gue udah jemput. Ngomongnya besok dikampus ya. Oke friend??” seru Pelangi bergegas menghampiri mobil kakaknya. “ Eh, Ow. Oke deh. Bye..” aku menjawab seruan pelangi dengan kecewa karena aku ga bisa mengungkapkan rasa yang sudah lama ingin aku ungkapkan. Apa lagi, dia memanggilku ‘friend’, apa mudah buat aku nembak dia?? Di kampus, aku memulai pelajaran bersama semua teman – temanku yang menambah ceria hari – hariku. Seperti awalnya, anak – anak GALGOBHIN atau pasnya genknya si Rico, anak terpintar,terbaik, dan tersopan di penjuru kampus sekaligus rivalku untuk mendapatkan Pelangi ini menjawab setiap pertanyaan yang diajukan Pak Fardi yang adalah sang Master dari Matematika. Istirahat, aku menemui Pelangi duduk bersama Chika dan Tiwi di kantin. Aku meminta izin pada Chika dan Tiwi untuk berbicara sedikit dengan Pelangi. Dan aku diizinkan. Aku menarik tangan Pelangi ke depan pintu kantin. Dag dig dug makin terasa. Makin keras, keras, dan terasa jantung ini akan pecah. Mengapa? Karena aku berhasil dengan lancar menembak Pelangi. Sekarang aku tinggal menunggu jawaban. Kutatap matanya, ia juga menatap mataku. Dan jawaban apa yang kudapat? “Ehm, gimana yah? Oke deh. Tapi kita harus serius dan ga main-main oke?” Jelas saja kubalas “PASTI!!!”. Diriku serasa melayang bebas ke udara. Lalu kutemui bidadari di sana. Aku berdansa dengannya dengan disaksikan oleh keluarga dan sobat-sobatku disana. Siapa lagi bidadarinya kalau bukan Pelangi? Kita jadi sering banget jalan berdua. Dan sering juga melihat pelangi bersama-sama. Setelah gossip jadiannya aku sama Pelangi tersebar, Rico and friends mendatangi aku. Aduh, dia pasti bakal ngelabrak aku habis – habisan nih. Aku bergegas pergi dari dudukku. Tapi anak buah Rico menarik tas hitamku. Aku jatuh ke lantai dan merasa ketakutan sekali. Apalagi Dido dan Rahman yang bergabung di genk itu adalah juara boxing antar kampus. Keringat dingin bercucur dari dahiku hingga ujung dagu. Perlahan – lahan Rico menjulurkan tangannya. Aku memejamkan mata dengan kuat dan berusaha melindungi kepalaku dengan lenganku. Tapi apa? “ Slamet ya. Ternyata lo yang ngedapetin Pelangi duluan” Itu yang Rico ucapakan. Hah? Bener? Waw. Aku ga nyangka banget ada orang yang baik sampe kaya gitu. Makin seneng deh. Besoknya, aku berangkat ke kampus kaya biasa. Naik sepeda motor sama boncengin Pelangi. Pelangi juga memberiku gantungan kunci benang berwarna – warni mulai dari merah dan berurut sampai ungu. Ditengahnya terdapat plastik bertuliskan ‘Rainbow’ dan sekarang kugunakan untuk menghias kunci sepeda motorku. Pulangnya aku dikabarkan dengan kabar yang sangat tidak menggembirakanku. Ayahku masuk rumah sakit! Mengapa? Aku juga ga tau. Intinya, mama meneleponku dan memberitahu kalau ayah masuk rumah sakit. Segera kulajukan dengan cepat Sportbikes menuju rumah sakit. Aku melihat mama, Tami dan Hugo terduduk lemas di ruang tunggu. Aku segera menghampiri mama. “ Mama! Gimana ayah?!” bermuka pucat mama menjawab, “Ayahmu kumat lagi To. Padahal sudah lama penyakit ayah tidak muncul.” Aku terduduk lesu ke kursi di sebelah adikku Tami. Tami memandangi wajahku dengan raut wajahnya yang pucat dan berusaha menahan tangis. Aku mempersilahkan untuk meletakkan kepalanya di dadaku. Kupeluk erat badan mungilnya. Dengan isak tangis keluargaku benar - benar dipenuhi haru hari ini, Otakku berjalan lambat ke belakang dan membiarkan kotak di pojok otakku memutar kembali memori kita sekeluarga. Aku teringat beberapa minggu lalu saat ayah baru pulang dari Amerika. Keluargaku benar – benar senang dan bahagia. Hingga kutemui Pelangi dan kutembak dia. Saat ayah memberikan oleh – olehnya pada kami. Dan saat Hugo menggangguku ketika bertelepon dengan Pelangi. Oh betapa berbeda sekali dengan hari ini. “Tito!!” panggil mama dan menyadarkan lamunanku akan memori beberapa minggu lalu. Mama memberi kertas berisi biaya yang harus dibayar untuk perawatan ayah. “ Segini banyak, Ma?” aku bertanya heran pada mama. Mama menganggukkan kepalanya pertanda kata – kata “ IYA” Gimana cara mendapatkan uang sebanyak ini? Aduh… Pikiranku lebih kacau dan makin stress ketika Pelangi berkata ia akan pergi ke Australia. Ya ampun! Apa ada lagi cobaan yang akan menerkamku setelah ini? Ah! Terpaksa aku harus merelakan kepergian Pelangi ke Australia. Tapi kali ini lebih haru lagi yang kurasakan. Hatiku seakan dicabik – cabik. Aku berharap Pelangi bisa mengingatku di sana. Kuharap Pelangi juga akan menepati dan tidak mengingkari belasan janjinya padaku. Baiklah, aku masih punya gantungan kunci dari Pelangi. Aku harus memikirkan caraku mendapatkan uang untuk perawatan ayah. Tapi dimana? Oh iya! Ada Paman Heru! Paman yang paling berjasa di dunia balapku. Aku pergi ke rumah Paman Heru saat itu juga. Aku lihat Paman Heru sedang bersantai di depan rumahnya sambil minum kopi. Aku menyapanya dan mulai berbincang beberapa lama. “Kamu butuh uang berapa To?” Paman Heru bertanya sambil bersiap mengambil dompet kulit dari saku celananya. “Segini Paman” aku memberikan kertas yang diberikan mama saat di rumah sakit. “ Wah. Banyak nih To. Oke paman mau kasih. Tapi Cuma bisa seperempatnya aja. Sisanya cari sendiri oke?” sahut paman. “Oke deh paman.” Balasku sedikit kecewa. Paman Heru mengeluarkan hampir seluruh isi dompetnya. Ku raih uang itu. Aku mengucapkan terimakasih. “ Ehm, paman. Cari sisanya dimana yah? Maaf ya paman kalo ngrepotin..” “ Aduh dimana ya? Paman Heru udah jarang banget ketemu event – event balap.” Jawab Paman Heru. “ Bener nih Paman? Ngga ada sama sekali?” tanyaku sekali lagi untuk meyakinkan. “ Ada sih satu. Paman kemarin ketemu satu event. Hadiahnya lumayan gede juga” jawab paman sekali lagi. “Ya udah aku ikut.” Jawabku tanpa pikir panjang. “Tapi yang ngadain Komunitas Bali.” Ujar Paman. “Hah? Bali? Balap Liar paman?” tanyaku dengan heran. “Iya. Kamu tau kan konsekuensinya?” “Emmmm, oke deh gapapa. Pokoknya ayah sembuh.” Setelah kubicarakan hal ini dengan mama, Tami dan Hugo, tak ada yang menyetujui kesepakatanku kecuali Hugo. Hanya dia yang menyemangatiku saat itu. “ Udah To. Kalo ada barang yang bisa dijual, biar mama jual daripada kamu ikut balapan kaya gitu.” Mama melarangku. “ Iya kak. Biar nanti Tami jual gorengan atau apa gitu buat bayar biayanya ayah. Daripada kakak nanti kenapa – napa.” Tami yang masih di bangku SD itu juga berusaha melarang. Tapi keputusanku udah bulat. Aku akan tetap mengikuti balap ini. Hari yang kutunggu akhirnya tiba. Sudah siap aku di atas motor balapku ini. Tak lupa ada gantungan kunci dari Pelangi yang menemaniku. Para cewek – cewek di depanku menarik bendera hitam putih di tangan mereka. Segera melaju kami semua. Urutan pertama ada rivalku si Joe. Tapi aku berusaha menyalipnya. Beberapa lap sudah kulewati. Tinggal satu lap lagi. Aku masih di urutan dua. Joe mengencangkan lagi gasnya. Aku juga tak mau kalah. Aku tancap gasku. Kini jarakku dengan Joe hanya beberapa cm! Kutancap lagi gasku! Garis finish sudah ada di depanku. Mataku mulai jeli memainkan trik. Kutancap gas hingga aku berada di depan Joe. Kuhalangi laju motor Joe dengan zig zag. Tinggal sedikit lagi.. Ya, ya, ya.. YESSS!!! Aku berhasil mencapai urutan pertama di garis finish. Paman Heru berteriak menyemangatiku dari jauh. Para penonton menyoraki dan memberi tepuk tangan untukku. Sangat haru sekali. Sangat memuaskan. Tapi, polisi! Polisi! Polisi! Penonton berlarian kesana kemari. Para pembalap lain melaju kencang tak berarah. Paman Heru berteriak padaku “Tito!!!! Ayo pergi!!!! Paman ga mau kamu ditangkap polisi!!!” “Lhoh kenapa paman???!!!!! Aku kan belum dapat hadiahnya!!!!” teriakku membalas paman Heru. “Tito ini Balap Liar!!!!! Kamu lupa ya????!!!!!!” Jregg. Oh iya!! Aku baru teringat. Kutancap gasku. Aku melaju tanpa arah. Tak kusangka segerombolan cewek centil berlari dengan histeris di depanku. Aku rem motorku dengan sangat mendadak dan dengan kecepatan yang melebihi normalnya. Keseimbanganku goyah. Aku terjatuh dari motorku! Kaki kiriku tertindih body motorku. Sebelum kubebaskan kaki kiriku, kuraih dulu gantungan kunci dari Pelangi. Sedikit lagi…, yah! Aku berhasil membebaskan kakiku! Gantungan kunci dari Pelangi juga sudah kukantongi. Belum aku berdiri dari jatuhku, seorang pembalap dengan motor besarnya segera melindas kedua kakiku dengan kecepatan tinggi. Sakit sekali! Aku mengerang kesakitan. Benar – benar sakit. Lebih sakit daripada hatiku yang tercabik saat Pelangi pergi. Paman Heru datang menghampiriku. Belum sempat aku mendengar Paman Heru berbicara, pandangankupun gelap. Apa ini? Aku sudah mati? Oh aku sudah mati ya. Ternyata aku sudah mati. Perlahan – lahan aku membuka mataku. Rasanya sudah lama sekali aku tidur. Tapi ada mama di depanku. Tami dan Hugo juga ada. Baunya sama persis ketika aku melihat ayah yang terbaring lemah di ranjang rumah sakit. Oh? Aku sedang ada di rumah sakit? Aku bangun dari tidurku. Kulihat anggota badanku. Ada yang hilang!! Kakiku!! Mana?? Dimana kedua kakiku? Tertanya peristiwa itu membuat aku kehilangan kedua kakiku. Harusnya aku menuruti nasehat mama dan Tami. Pasti tidak akan seperti ini jadinya. Ah! Tapi nasi telah menjadi bubur. Apa daya?? “Kak, waktu kakak koma, kak Pelangi dating kesini lho.” Kata Tami saat aku berbaring di ranjang tidur. “ Oh ya? Terus terus? Kak Pelangi bilang apa aja?” tanyaku penasaran dan langsung bangkit dari tidurku. “Enggak bilang apa – apa. Cuma kesini pegang tangan kak Tito terus pulang.” Jelas Tami. “Cuma gitu? Dia ga nitip apa – apa?” aku heran. “ Emm, enggak kok.” Jawab Tami ragu. “oh. Ya udah deh”. Siang itu hujan turun. Aku sangat ingat pada Pelangi. Soalnya dia pernah buat janji tiap ada hujan turun dia akan balik buat liat pelangi sama – sama. Dengan bantuan dorongan Hugo, aku menelusuri lorong rumah sakit hingga ke lobby dengan kursi roda. Kutunggu terus hingga Hugo tertidur di atas sofa. Tapi hingga larut ia tak juga datang. Namun aku sangat menyesal menunggunya sejak aku melihat surat yang terletak di atas meja. Andai saja waktu Tami bercerita padaku, aku tau kalau di tangannya ada surat dari Pelangi. Surat itu berisi : “Buat Tito sahabat gue sekaligus pacar gue yang paling gue sayang. To, gue minta maaf. Gue ga bisa balik lagi buat liat pelangi sama – sama lagi kaya dulu. Soalnya di sini gue udah ketemu ama cowok yang gue pikir bisa dampingin hidup gue. Tolong titip gantungan kuncinya ya. Rawat yang baik oke?” Itupun belum semua. Yang paling membuat aku menyesal menunggunya semalaman adalah kalimat terakhir dari suratnya. Yaitu: “Gue ga bisa hidup sama orang cacat kaya lo” Kini kusadari, pelangi hanya terbentuk dari pembiasan yang tidak nyata. Namun bisa membuat satu cahaya putih menjadi bermacam – macam warna. Tetapi pelangi hanya sementara dan bila tak ada air dan cahaya pelangi hanya akan mengingkari janjinya untuk menyinari dunia. Sama seperti si Pelangi. Pelangi memiliki ciri – ciri yang kuimpikan namun tidak nyata di hatinya. Ia bisa membuat hidupku berwarna dan ceria. Tapi hiburan itu hanya sementara untukku dan bila tidak ada diriku yang utuh seperti dulu, ia mengingkari janjinya dan berpaling.


Ada cinta ditengah rimba
ADA CINTA DITENGAH RIMBARaga adalah seorang pelajar disebuah SMA di ibukota.Ia merupakan seoarang yang cukup cerdas dikalangan siswa lainya,Ia juga dikenal sebagai anak yang pendiam namun pandai bergaul tak heran jika Ia memiliki banyak teman.Akan tetapi dari sekian banyak teman yang Ia miliki,Sinta yang merupakan teman satu kelas Raga sangat tidak menyukai Raga,meskipun mereka berteman sejak SMP,tak membuat lantas membuat hubungan persahabatan mereka akur.Bagai kucing dan tikus begitu kiranya kata yang tepat untuk menggambarkan hubungan persahabatan mereka.Sinta adalah sosok gadis jutek,pemarah,Ia juga dikenal galak terhadap cowok-cowok yang mencoba menggodanya.Makanya selama ini Sinta tak pernah terlihat mempunyai pacar ataupun sekedar teman mengobrol kecuali Raga.Hanya Ia yang setia menjadi teman Sinta walaupun tak jarang bahkan hampir setiap hari Sinta selalu menjahati,mencemo’oh dan membentak Raga,karena Sinta menganggap Raga adalah sosok yang patut Ia jahati,Tak peduli akan semua hal yang dilakukan Sinta padanya,bagi Raga sahabat sejati adalah seorang yang mampu menerima segala kebaikan dan keburukan yang dimiliki sahabatnya itu sendiri.Di setiap hari yang mereka lalui hanyalah pertengkaran dan kejailan yang dilakukan Sinta pada Raga.Bagi Sinta sehari tanpa berbuat jahat pada Raga sama dengan sayur tanpa garam hambar begitu menurutnya.Sampai pada suatu hari tepat dihari minggu nanti,koordinasi kelas mengusulkan sebuah kegiatan untuk mengisi waktu liburan yakni dengan mengadakan pendakian dikaki gunung ciremai.”Horeee…….!!!minggu depan kita kemping.”Begitu sorak riang memecah keheningan kelas,tak ketinggalan Sinta yang begitu antusia menyambut hal tersebut,tergambar raut muka Sinta menunjukkan akan ada sesuatu hal yang akan dilakukannya pada Raga.Hari ‘H’ telah tiba,kegian pendakian akan segera dimulai,semua rombongan telah bersiap dan berkumpul dihalaman sekolah.Masing-masing terlihat telah membawa perlengkapan mendaki dari mulai sepatu gunung,tonkat,jaket,gulungan tenda,sampai pada ransel-ransel besar dipunggung mereka.Begitupun Sinta,Dia telah siap akan segala sesuatunya,seluruh perlengakapan yang Sinta bawa terlihat begitu berat.Sampai akhirnya Sinta melihat sosok Raga yang tak begitu jauh darinya dan berteriak memanggil.”Eh culun!!sini lo!!nih bawain ransel gue!!!”begitu Sinta biasa memanggil nama Raga.”Owalah…yah berat atuh Sin.”Keluh raga.”Udah jangan banyak cing-cong lo,cepet bawa!!!”.Meskipun dibentak-bentak tetapi Raga menurut saja.Satu persatu peserta pendakian menaiki mobil rombongan dan seketika mobilpun tancap gas melesat menuju lokasi pendakian.Dua jam berlalu sudah,Akhirnya mereka sampai ditempat tujuan.Setelah semua peserta turun dan bersiap mendaki,terlebih dahulu ketua koordinasi mengumumkan kelompok pendaki melalui pengeras suara.”Perhatian!!!sekarang kita bagi kelompok dengar baik-baik kelompok yang akan saya bacakan segera bersiap pada posisi yang telah ditentukan.Baiklah langsung saja,kelompok satu Andi dan Ratu,kelompok dua Bayu dan Cantika…..”Begitu seterusnya,sampai pada”Kelompok terakhir Raga dan Sinta.” “Apa??!!”Serentak keduanya kaget mendengar pembacaan kelompok yang ternyata mereka terpilih sebagai satu kelompok pendakian.”Sial!!!masa’ gue satu kelompok sama si culun itu.”Gerutu Sinta.Raga hanya tersenyum menoreh kearah Sinta ,Sinta membalasnya dengan kepalan tangan kanannya yang dia acungkan ke muka Raga.Setelah mendengarkan instruksi,satu persatu barisan pendaki kian melangkah menyusururi jalan setapak menuju puncak pendakian.Begitupun Raga dan Sinta memulai langkahnya memasuki rimba.Sepanjang perjalanan hutan-hutan pinus menjulang dengan gagahnya,rimbun semak belukar masih terlihat asri disekeliling jalan.Sesekali Sinta meminta Raga untuk beristirahat padahal belum juga mereka jauh dari tempat dimana mereka melakukan start pendakian.”Eh culun!!!kita istirahat dulu yuk,gue cape nih.” “Yah elah baru juga kita jalan sebentar kamu sudah minta istirahat.” “Udah jangan banyak komentar lo!yang namanya cape ya capek!”Bentak Sinta.Akhirnya Raga hanya bisa menurutinya.Sepuluh menit tela berlalu,”Ayo kita teruskan perjalanan sebelum matahari terbenam.”Ajak Raga sembari menarik tangan Sinta”Eh jangan tarik-tarik dong,sakit tau!!”.Mereka melanjutkan perdakian,terlihat rombongan pendaki semakin jauh meninggalkan mereka.Namun seperti biasa Sinta kembali berulah,kini Dia meminta untuk beristirahat kembali.”Cape banget nih sumpah.Istirahat dulu yuk?” “Akh…kamu tadi baru aja selesai istirahat sekarang udah minta istirahat lagi gimana sih kamu Sin?”Sahut Raga.Tak terasa satu jam telah berlalu tetapi mereka belum juga beranjak dari istirahatnya,mereka tertinggal jauh oleh rombongan pendaki lainya.”Sin,ayo kita lanjutkan pendakian,kita sudah tertinggal jauh sama yang lain jangan sampai kita tersesat disini,kita harus segera pergi sebelum matahari tenggelam.”Jelas Raga mengajak Sinta.akan tetapi Sinta terus saja tak menghiraukan apa yang Raga katakan,Dia tetap duduk santai diatas batu dibawah pohon yang cukup rindang.”udah lo tenang aja kita gak bakal tersesat,kiata kan tinggal ngikutin jalan setapak ini.bereskan?!”Ungkapnya tenang. Satu jam kini telah berlalu, Baru mereka sadari bahwa kini mereka tertinggal ditengah rimba,alunan riang penghuni malam,sesekali terdengar auman harimau dari kejauhan.Kini mereka hanya berdua ditengah gelap gulita sang rimba hanya sepercik cahaya dari obor menerangi jalan.Mereka mulai menyusuri jalan setapak yang tak lagi terlihat jelas terhalang kabut tebal yang perlahan mulai turun,namun tak lagi penuh hirau mereka terus menembus melangkahkan kaki mengikuti insting dan feeling bahwa mereka tetap dijalan yang benar,tak ada alat bantu apapun karena kecerobohan mereka lupa membawa kompas,ditengah perjalanan rintik hujan mulai turun lewat sela-sela rimbun pepohonan,guyuran hujan semakin deras membasahi keduanya tak terkecuali ransel mereka,akhirnya Raga memutuskan untuk mencari tempat persinggahan sementara,dibawah pohon pinus mereka mendirikan tenda darurat.Mereka sudah basah kuyup saat berteduh dalam tenda,hujan yang semakin deras menyirami seisi hutan,malam terasa begitu larut udara semakin dingin dan dingin seakan menembus tulang,berdua menggigil dalam tenda"huu...dingii...iiinn"rintih Sinta ditengah kemelut bibir bekunya."sama Sin aku juga kedinginan"Raga baru teringat bahwa didalam ranselnya Ia membawa jaket cadangan,segera Ia mengorek ransel itu hampir seluruh isinya telah basah akibat hujan,untungnya jaket itu tidak ikut basah karena Ia meletakannya ditumpukan paling bawah,segera Ia keluarkan dan bermaksud memakainya sendiri namun melihan Sinta meringkuk kedinginan,terlihat wajahnya memucat,bibirnya seakan membeku tak terdengar lagi ocehan dan omelan yang Dia lontarkan,Dia terus menggigil kedinginan.Sinta tak bisa menggunakan pakaian bawaanya karena seisi ransel telah basah kuyup tak tersisa.Raga tak tega melihat hal itu,lantas Ia pun memakaikan jaketnya pada Sinta."Sin pakai ini biar kamu gak kedinginan"tanpa berpatah kata,Sinta hanya sesaat menatap ke arah Raga dan kembali meringkuk dalam beku.Malam semakin larut,rupa-rupanya hujan tak lagi mengguyur diluar sana,kini malam terlihat terang,sinar rembulan menembus rimbunya semak rimba,hiasan bintang-bintang menerangi pekat langit malam.Indah purnb memberikan kesempurnaan diangkasa."kayaknya hujan sudah mulai reda,aku akan keluar dulu untuk membuat api unggun kamu tunggu disini ya Sin."Raga melangkah keluar tenda,ditengoknya langit yang tak lagi menangis tak berapa lama api unggu kini tengah berkobar."Sin,coba kamu keluar hangatkan tubuhmu cepet."ajak raga sembari menggaiang tubuhnya yang memucat karena kedinginan.Sinta keluar dan ikut bergabung bersama Raga untuk menghangatkan tubuhnya yang sudah setengah beku.Dia duduk berimpit disamping Raga.Suasana malam yang indah,sunyi tanpa suara penghuni malam berkeliaran tanpa sadar Sinta menyandarkan kepalanya dibahu Raga.Raga kaget namun Ia membiarkannya,selang waktu berlalu malam yang semakin larut hanya kesunyian ditengah kegelapan bersama sinaran indah purnama menemani keduanya.Kini,Sinta sudah mampu berucap kata,bibir bekunya seakan mencair oleh hangatnya kobaran api unggun."Ga,thanks yah?"untuk pertama kalinya Sinta memanggil nama Raga.Raga tetap diam,Ia hanya tersenyum kecil sambil terus menggarang kedua tanganya diatas kobaran api.Kembali terdengar Sinta berucap sesuatu."Raga,maafin aku selama ini aku terus jahatin kamu,padahal kita udah lama temenan tapi aku masih aja jahathn kamu.Tapi jujur sehari tanpa kamu aku merasa sendiri,aku tak mengerti apa yang terjadi tapi itu yang aku rasakan selama ini,aku kehilangan kamu Ga."ditengah celotehnya,sesaat sinta terdiam kemudian Dia menatap Raga tulus."Loh kok diem?terusin dong"sahut Raga sedikit bergurau."Ga,liat aku?!"tangan kanan sinta menarik wajah Raga yang kdmudian keduanya saling bertatap muka,cukup lama terjadi.Tiba-tiba..."Raga,sebenernya aku...aku...aku sayang kamu Ga,aku gak bisa jauh darimu Ga,sungguh!!"Seketika angin bertiup membelai dingin,suasana kian begitu sunyi tak ada sedikitpun suara melintas,hanya hembus nafas keduanya terdengar lirih,seakan menjadi saksi semak rimba bersama bintang dan purnama mereka seakan tersenyum melihat keduanya.Raga terus terdiam,Ia tak percaya apa yang barusan didengarnya,seingatnya Sinta sosok antagonis baginya.Tapi kini apa yang terjadi,semua itu telah memutar balik segalanya."APA??!!apa yang barusan aku dengar?akh..gak mungkin Sinta berkata begitu padaku,dia hanya bercanda,ya dia hanya bercanda"pikiran itu terus menghantui.Keduanya masih bertatap muka,kemudian"Sin,kamu yakin dengan apa yang kamu katakan barusan??"Raga menyakinkan."ya!aku sayang kamu Ga"tiba-tiba Sinta memeluk Raga erat.Raga semakin kaget dan heran,Ia tak mengerti dengan apa yang sedang terjadi.Tanpa sadar,Raga membalas pelukan itu,dan..."Aku juga sayang kamu Sin."Ditengah rimba sebuah panah asmara telah mempersatukan dua serpihan hati menjadi satu dalam ikatan cinta kasih.Keesokan harinya sebelum mentari menampakkan diri mereka berdua bergegas menuju puncak,dimana rombongan pendaki tengah menunggu penuh resah dan gelisah.Kini tangis haru kian pecah menyambut kedatangan Raga dan Sinta.”Eh itu mereka…!!!”Teriak salah seorang peserta menunjuk ke arah mereka.Diatas puncak gunung,hamparan hijau berbukit begitu indahnya,sorot jingga sinar matahari terbit dari ufuk timur menambah kesempurnaan suasana pagi itu.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar