Sabtu, 03 April 2010

NOVEL KHALIL GIBRAN

WANITA DI LINGKAR HATI (Bagian I


Banyak orang bilang bahwa segala sesuatu yang pertama akan menjadi kenangan tersendiri dan menjadi rangkaian kehidupan yang sangat berarti. Tangisan pertama akan membahagiakan kedua orang tua dan ini terbukti benar setelah aku menjadi orang tua. Aku begitu mengharapkan tangisan pertama semua anakku yang terlahir, karena dengan tangisan itulah yang mengidentifikasikan bahwa bayiku terlahir sehat. Konon bayi yang terlahir tidak menangis dipastikan mempunyai indikasi lain yang perlu dicermati segera, terutama sebab-sebab yang membuatnya tidak menangis.

Pandangan pertama konon akan membuat orang susah tidur. Segala kenangan akan terpatri begitu dalam saat dua pasang mata berbeda jenis kelamin saling memandang dan menatap. Sering muncul paradigma ”Cinta pada pandangan pertama” yang artinya cinta itu tumbuh saat pertama kali bertemu dan saling berpandangan. Ini menjadi hal yang super dasyat, dari dua insan yang sebelumnya tidak saling kenal menjadi saling tertarik dengan gaya medan magnet ribuan voltase yang siap menabrak satu sama lain. Kenangan pandangan pertama akan selalu teringat pada masa perjumpaan yang pertama kali. Reaksi selanjutnya akan ada penjajagan dari kedua insan yang berpandangan.

Malam pertama menjadi sesuatu yang sangat mendebarkan dan begitu dinantikan oleh sepasang mempelai yang akan menuju pelaminan. Malam yang indah itu sekaligus menjadi harapan baru bagi sepasang mempelai untuk menjalani bahtera kehidupan selanjutnya.

Nah, konon kabarnya yang tidak kalah indahnya untuk dikenang sepanjang hidup manusia adalah cinta pertama. Dia menghadirkan semua rasa dalam hidup, dia bisa menjadikan manusia melambung tinggi ke alam astral tak berdimensi, tanpa batas dengan segala kenangan baik yang indah maupun menyakitkan. Cinta pertama menghadirkan segala bentuk kepedulian dan harapan baru pada lain jenis yang sebelumnya tidak pernah terasakan. Cinta yang hadir pertama kali pada saat kita belum mengenal arti cinta lebih jauh itulah yang menjadikan tonggak tersendiri bagi kehidupan kita di masa kemudian. Ya… Cinta pertama memang mengadung sejuta makna bagi kehidupan berikutnya.

Aku mengenal Shanti sebagai gadis desa yang lugu, berparas cantik, berkulit kuning langsat, anak orang kaya, terpandang dan menjanjikan masa depan cerah saat aku duduk di Kelas 3 SMU. Dia begitu indah dan menawan hatiku. Dia bagaikan pelipur lara, obat segala kesedihan dan penyemangat hidupku di masa lalu. Dia adalah bintang yang paling bersinar terang di antara bintang lain yang ada di jagat semesta ini. Dia adalah satu-satunya harapan yang selalu menjadi mimpi bagiku dalam mengejar cita-cita. Dia adalah segalanya bagiku…


WANITA DILINGKAR HATI (BAGIAN II)


Kehadiran Shanti dalam anganku mampu meningkatkan semangat dan spirit pada daya juangku yang mulai melemah. Indahnya rasa cinta yang terasakan membuatku semakin yakin akan sebuah masa depan gemilang yang dapat aku raih ketika berdua dengannya. Segala macam energi negatif dalam bentuk rasa malas dan enggan untuk berkarya tiba-tiba sirna dan berubah menjadi energi positif yang mampu mengubahku untuk bergerak ke arah yang lebih baik. Shanti adalah segalanya bagiku, yang mendatangkan rasa aman dan nyaman untuk mensinergiskan segala macam langkah dan semangat baru terhadap tantangan dan hambatan yang datang saat masa pubertasku tiba.

Otak ini terasa lebih mudah untuk berpikir menurunkan persamaan linear dan persamaan kwadrat, mencerna teori relativitas Einstein dan menyerap konsep mol Avogadro. Semangat baca dan menguasai ilmu dalam diriku terasa bagaikan grafik eksponential yang sedang beranjak menuju titik puncak. Ada energi lain yang membuatku makin tergila-gila mencintai ilmu setelah mengenal Shanti lebih dalam. Perubahan demi perubahan yang begitu dramatispun terjadi. Aku ingin membahagiakan dirinya dimasa yang akan datang. Aku tidak ingin mengecewakannya karena aku menjadi bagian dari orang-orang yang gagal mengejar masa depan.

”Shan, apa yang membuatmu mencintaiku” tanyaku kepadanya saat aku apel ke rumahnya.
”Aku tidak tahu Mas, yang jelas Shanti merasa tenang saat berdekatan dengan Mas” katanya sambil jemarinya menyentuh jemariku yang membuat anganku melambung tinggi menembus cakrawala di langit biru.
”Kenapa tidak mencari laki-laki lain saja, bukankah selama ini banyak pria yang berharap padamu” tanyaku lagi.
”Shanti tidak tahu Mas, mungkin ini yang namanya Cinta Pertama” jawab Shanti dengan penuh hati-hati.

Aku semakin terpana mendengar ucapannya. Kalimat demi kalimat yang terucap bagaikan dogma baru yang menyemangatkanku untuk segera membuktikan pada dunia bahwa aku bisa membahagiakan dirinya di masa yang akan datang.

......................

WANITA DILINGKAR HATI III


Selepas maghrib, gerimis memercik. Tanah tak sampai basah, tapi semerbak baunya cukup menyegarkan udara yang terpanggang sepanjang siang. Saat itu bulan Agustus, entah sudah berapa pekan hujan tak pernah menyapa. Desa kecil yang aku tinggali mulai melemah denyutnya. Lampu menyala redup di setiap sudutnya. Taman utama yang diterangi seribu lampu seolah-olah menyapaku dan hendak mengucapkan ”Selamat Datang” bagi putra-putri terbaik desa yang telah meninggalkan kota Bawang Merah selama 3 tahun lebih, tempat tinggalku, Kabupaten Brebes.

Nuansa berbeda terasa dibanding tiga tahun lalu sebelum aku menjadi mahasiswa. Terbayang perjalanan sejarah panjang desa yang aku tempati ini. Di belantara dunia yang dulu menjadi wilayah kekuasaan Van Den Bosh, Wong Londo yang menggali bumi Indonesia dan menuai banyak keuntungan dari sistem Tanam Paksa yang diterapkan pada zamannya, semua berubah sejak tahun 1997. Pabrik Gula yang menjadi urat nadi perekonomian masyarakat tempat tinggalku kini tutup dan berubah menjadi kuburan alat-alat penggilingan tebu yang berkarat sebelum menjadi tanah. Setelah seabad lamanya, tak banyak lagi sisa-sisa kejayaan yang tersisa. Desa yang dulu gilang-gemilang dengan hasil gulanya kini terlihat redup, seolah menjadi kampung mati yang tak bertuan. Tak banyak terlihat sisa kejayaan seperti bangunan tua bergaya eropa misalnya. Yang masih tegak berdiri adalah sisa-sisa gedung megah yang dulu ditempati oleh para karyawan elite yang tinggal di wilayah itu. Konon dia sudah ada sejak 1913, tanpa pernah henti meniup peluit uap setiap pagi yang membangunkan para pekerja dan menandai mulainya aktivitas warga. Kini, putaran roda telah berbalik arah.

Aku masih teringat saat aku menembus 3 Universitas bergengsi tiga tahun lalu, desa yang aku tempati masih memberikan secercah harapan untuk menunjangku menyelesaikan pendidikan di salah satu Institut ternama di Kota Bandung. Bapakku yang menjadi bagian kuli kasar penggiling tebu, masih diharapkan bisa terus mengulurkan dana untuk membiayai kuliah dan menyambung nafas hidupku di kota Bandung walaupun sangat minim. Aku ingat betul saat Bapak bilang kepadaku di kala aku tidak memilih 2 Universitas Ikatan Dinas lainnya.

”Ngger, yen awakmu ndak njupuk kuliah sing ikatan dinas iku, lha biaya kuliah lan uripmu soko endi” (Anakku, kalau kamu tidak mengambil kuliah yang ikatan dinas, lalu biaya kuliah dan hidupmu darimana?) kata Bapakku dengan nada pasrah.
”Wallahu a’lam Pak, mudah-mudahan akan ada jalan lain” jawabku pendek.

Prahara itu ternyata datang sungguhan, Pabrik Gula yang demikian megah dan menjadi tulang punggung perekonomian desa, ambruk diterjang krisis ekonomi tahun 1997. Para pekerja harian lepas, kuli kasar, para staf dan karyawan tingkat tinggipun tidak lepas dari PHK. Tidak tanggung-tanggung, semua simpul tali temali bisnis untuk merajut tebu menjadi gula hilang bak ditelan bumi. Banyak orang bingung dan stess karena tidak punya pekerjaan, tidak terkecuali dengan Bapak.

Dalam rasa panik ketakutan akan kekurangan dan drop out kuliah, aku tetap berharap masih bisa melanjutkan kuliahku. Satu-satunya orang yang bisa menyemangatkanku untuk meraih masa depanku adalah Shanti. Dia begitu mengerti kondisiku, tidak pernah menuntut apapun dan sangat yakin kalau suatu saat aku akan menjadi bagian dari orang-orang sukses. Atas dorongan dan perhatiannya, aku berhasil menjadi laki-laki yang sangat percaya diri, penuh optimistis dalam segala keterbatasan, sangat fokus dalam bertindak dan tidak cengeng jika mendapatkan masalah. Shanti bagaikan malaikat yang terus mengingatkanku di saat aku terlena, dia akan menyemangatiku lewat tulisan tangannya yang indah melalui surat-suratnya. Entah berapa puluh surat yang terkirim olehnya agar aku terus meraih impian masa depanku yang gemilang.

”Sabar saja Mas, mungkin ini adalah bagian dari perjuangan yang harus Mas lakukan untuk menjadi seorang Sarjana Teknik” kata Shanti saat aku bermain ke tempatnya.
”Iya, cuma Mas masih bingung dengan cara apa Mas harus mendapatkan uang sambil sekolah” jawabku datar.
“Berdoalah pada Allah SWT, mintalah jalan keluar kepada-Nya, pasti Dia akan memberinya” katanya saat jiwa ini sedang dirundung kegalauan yang menyengat.

Dalam wajah ayu-nya, dia berucap lembut memompa semangatku untuk terus berjuang dan berusaha sampai impianku tercapai. Karakter keibuan, kematangan berbicara, kesabaran dan ketelatenannya dalam memperhatikanku membuatku tidak bisa lepas dari Shanti. Walaupun banyak wanita cantik lainnya di kota Bandung, tapi tidak akan pernah mampu menggeser apalagi menggoyang hatiku yang sudah terlalu mencintai bidadariku. Shanti adalah penyemangatku dikala lemah, dia pelipurlaraku di saat sedih, dia selalu hadir saat aku membutuhkannya, obat dari segala macam kerinduan dan wanita tanpa batas yang wajib aku cintai.

KEBAHAGIAAN ITU RELATIF

Dia masih ingat saat duduk di bangku Kelas 5 Sekolah Dasar. Setiap hari pekerjaannya sehabis pulang sekolah adalah jalan-jalan ke pinggir sungai yang cukup elok menurutnya, kadang mencari kayu bakar, mencuri tanaman meranggas para petani jika lapar di perjalanan, seperti: jagung, kembili, ganyong, ketela pohon, singkong atau apapun jenis makanan sawahan lain yang tumbuh di sekitar sungai kecil tersebut untuk dibakar dan dimakannya di tempat secara bersama dengan teman-temannya. Saat itu, dia sangat merasakan betapa senang dan bangganya jadi anak petani kampung yang memiliki kebebasan berekspresi, kata lain untuk istilah liar. Dia merasakan ada sebuah kebebasan, kesenangan, kebahagiaan dan kedamaian hidup saat dia bergabung dengan komunitas alam lainnya.

Banyak teman yang senasib sepenanggungan dengannya di masa kecil, kadang mereka berjalan beriringan menelusuri pematang sawah untuk bersama-sama mengais-ngais rejeki dengan cara Gampung Bawang, istilah untuk mencari sisa-sisa bawang merah di sawah-sawah yang habis di panen. Mereka berbaris bagaikan tentara-tentara yang siap maju perang ke medan laga. Bersiap mencari sisa-sisa bawang merah yang tercecer dari para kuli songgol yang jatuh ke pematang, selokan, jatuh karena tersenggol parit atau senggaja menyeberot bawang yang sedang digendong para kuli songgol bawang merah. Mereka akan merasa bahagia yang luar biasa senang saat berhasil menjual hasil Gampung Bawang Merah ke para Bakul Bawang, yang merupakan tengkulak kelas kecil dengan mengumpulkan dan membeli bawang merah skala terkecil dalam susunan masyarakat perdagangan Bawang Merah di Kabupaten Brebes.

Cita-citanya sejak kecil tidak lain dan tidak bukan hanyalah menjadi sebagai pedagang barang-barang plastik yang dijajakan dari rumah ke rumah setelah bekerja di sawah dari pagi sampai siang. Inilah yang diharapkannya saat itu, menjadi pengusaha kelas kampung yang cukup berdikari. Cita-cita yang begitu luhur dan bersahaja dari seorang anak petani sepertinya. Sangat realistis.

# # #

Lima belas tahun kemudian, dia melangkah menelusuri pematang sawah dan sungai kecil yang dulu sering dia singgahi dengan semua teman-temannya yang masih dalam satu grup-nya di masa kecil. Tidak banyak perubahan, hanya ada rasa jijik dan alergi gatal yang kemudian kambuh bukan kepalang saat dia berjalan di rerumputan yang biasa dia tiduri dulu. Ada rasa tidak nyaman saat tubuhnya beririsan dengan daun-daun tanaman singkong yang tumbuh di sekitar lokasi sungai. Ada rasa kurang nyaman saat dia berjalan menelusuri sungai itu, padahal dulu, itu adalah sungai yang begitu elok yang mematrikan segala kenangan indah saat masa kecilnya. Sementara teman-temannya yang lain tidak merasakan apa yang dia rasakan. Mereka tetap seperti biasa dengan kondisi alam yang lumrah yang terjadi dalam dirinya masing-masing. Teman-temannya tidak pernah mengeluh gatal, tak nyaman, kurang enak dan sebagainya. Mereka tetap seperti 15 tahun yang lalu saat menelusuri sungai kecil itu.

Methamorfosis hidup dari perubahan ulat kecil menjadi kepompong, kemudian berubah menjadi kupu-kupu kecil dan berangsur menjadi kupu-kupu dewasa yang dialami oleh sekelompok teman masa kecilnya memang berbeda dengan dia. Kebanyakan teman-temannya tetap menjadi petani bawang merah, atau bekerja di pabrik-pabrik di Jakarta, Tangerang dan sekitarnya yang merupakan impian dari kawan-kawannya yang ingin hidup di perantauan. Sebagian lagi ada yang menjadi saudagar bawang merah atau palawija kelas menengah tingkat kampung.

Sementara sekarang dia tergelincir menjadi seorang calon doktor di sebuah institut paling terkemuka di negeri ini, yang bukan merupakan cita-citanya sejak kecil, dia hanya terseret ke gelombang hidup yang menurutnya lebih baik. Dia bekerja menjadi konsultan yang menangani proyek dengan omset milliaran rupiah per tahunnya, dengan penghasilan puluhan juta bahkan ratusan juta rupiah per tahun, ditambah lagi dengan banyak perusahaan baru yang dia tangani. Pertanyaannya adalah apakah dia merasa bahagia? Atau apakah teman-temannya sekarang merasa sengsara? Tentu jawabannya sangat relatif.

Saat dia berjalan bersama dengan teman kecilnya, mereka tertawa terpingkal-pingkal menertawakannya karena gatal dan bentol-bentol di sekujur tubuhnya. Teman-temannya langsung terlelap saat bersama-sama berada di gubuk yang tidak jauh dari sungai yang sangat kotor, sementara dia tersiksa sangat luar biasa dengan kondisi alam saat ini, padahal 15 tahun yang lalu sama saja, tidur mendengkur. Teman-temannya terlihat makan begitu lahapnya dengan lauk pauk seadanya dan mereka sangat menikmati hidup tanpa banyak memikirkan hal-hal yang rumit tentang kondisi sekitarnya.

Sementara, saat dia tidur di hotel berbintang, belum tentu bisa tidur nyenyak dan mimpi bagus seperti saat dia tidur di gubuk dan pematang sawah 15 tahun yang lalu. Pikirannya terus diliputi dengan perasaan was-was tentang tunggakan dan cicilan hutang perusahaan, gaji karyawan, termin percairan proyek, dan ruwet renteng tentang usaha yang sedang dia kembangkan. Dengan makan yang serba luxs, enak dan mewah juga tidak membuatnya merasa enak dan senang, karena batasan kolesterol dan penyakit lain yang siap menghadang saat dia salah makan. Batasan kesehatan benar-benar menjadi constraint tersendiri baginya saat dia ingin hidup lebih enak.

Yang terpenting bagiku sekarang adalah mensyukuri hidup, dimana dan posisinya sebagai apa, itu tidaklah penting. Kebahagiaan dan kedamaian tidak bisa dilihat secara materi, jabatan, jenis pekerjaan, banyak dan tidaknya teman, apalagi masalah harta. Kebahagiaan dan kedamaian letaknya di hati, bukan pada semua tetek bengek yang bersifat keduniawian. Yang aku tahu, dia jauh lebih senang saat mendapatkan uang rupiah yang dia peroleh dari Gampung Bawang-nya dulu dibandingkan dengan uang hasil proyek-proyeknya sekarang.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar